DAUN
Pagi datang, cuaca cerah dengan intensitas angin yang lumayan kencang. Halaman rumah baru saja selesai dibersihkan ketika itu, namun tiba-tiba angin menggoyangkan dahan-dahan pohon, memaksa mereka menggugurkan beberapa helai daun mereka yang masih hijau.
Sehelai daun hijau melayang turun mengikuti perginya angin. Daun itu mendarat pelan tepat di atas permukaan sebuah akuarium kecil. Daun tak bisa kemana-mana, tubuhnya berat oleh air. Akhirnya mau tak mau Daun memandangi apa yang ada di depan matanya. Sebuah suasana akuarium yang indah. Ada bebatuan warna warni di sana, ada pula rumput-rumputan hijau di ujung lainnya. Daun melihat seekor ikan berenang lemas, tampak tak bergairah, lalu dia berkata dalam hati "kenapa ikan ini tampak tidak bahagia? padahal dia memiliki segalanya. Dia punya rumah yang indah, makanan yang berlimpah, dan yang terpenting, ada yang menyayanginya. Dia tidak sendirian sepertiku. Kenapa dia tidak bahagia untuk kehidupannya yang nyaris sempurna?" perlahan-lahan perasaan iri menyusup ke dalam hati Daun. Dia ingin hidup seperti ikan dan bukannya sebatang kara seperti sekarang. Baginya, apalah artinya sehelai daun hijau yang sudah terlepas dari dahannya. Walaupun masih segar, dia tidak bisa lagi merimbun bersama teman-temannya dan merindangkan pohon, dia tidak bisa lagi membantu memasak makanan untuk kelangsungan hidup pohon, dia bukan lagi bagian dari keluarga besar pohon. Lalu apakah dia masih bisa disebut Daun?
Lamunan Daun tiba-tiba terhenti ketika sebuah sentakan mengagetkannya. Daun terangkat ke udara lalu terhempas ke tanah dengan cepat. "oh baiklah, sepertinya aku disingkirkan" pikir Daun sinis. Tubuhnya masih berat karena sisa-sisa air dari akuarium yang masih menempel. Dia sekarang tak bisa kemana-mana, dia terlalu berat untuk kembali diterbangkan angin. Dalam diam, Daun bertanya-tanya akan nasib si Ikan sambil berharap semoga si Ikan dapat lebih bahagia dengan hidupnya.
Lamat-lamat di kejauhan, Daun melihat sebuah bentuk yang sangat dikenalnya. Bergerak perlahan dalam ritme yang sama. Daun mulai ketakutan, karena jelas bentuk itu bergerak ke arahnya. Semakin lama Daun dapat melihat dengan jelas duri-duri halus mematikan yang bergerak perlahan, warna cerah mencolok itu semacam mengancam. Dialah si Ulat Bulu, ancaman besar bagi daun-daun hijau segar seperti dia. Ulat Bulu sering sekali mencari mangsa di dahan-dahan pohon yang memiliki daun lebat. Dia akan menggerogoti daun-daun itu, dimulai dari tepian luar lalu terus sampai batas tulang daun. Dia dapat membuat sehelai daun cacat, atau bahkan lebih parah, mati, mengering di dahan lalu jatuh ke tanah dalam keadaan tiga per-empat tubuh sudah habis. Mengerikan bukan? Dan inilah akhir kisah hidupnya, tergeletak sendiri di tanah dan dimakan habis oleh Ulat Bulu, pikir Daun. Dia hanya bisa diam tak bergerak, pasrah ketika Ulat Bulu mendekatinya, mengendus-endus tubuhnya sebentar, lalu berlalu pergi dengan santai. "sebentar" kata Daun dalam hati, "hey, ulat itu pergi! dia pergi! dia tak jadi memakanku!" Daun menjerit-jerit kegirangan dalam hati, perasaannya campur aduk antara heran, lega dan bahagia. Dia hampir tak percaya atas apa yang baru saja dialaminya. Namun perasaan hebat itu tak berlangsung lama. Seketika Daun kembali murung. "bahkan Ulat Bulu saja tak menginginkanku. Aku, daun hijau yang tak lagi menjadi bagian dari pohon. Tak ada yang menginginkanku"
Dalam kemurungannya, Daun mulai diterbangkan kembali oleh angin. Sesekali ketika angin tak berhembus, dia jatuh ke tanah dan kembali diam tak bergerak. Tubuh Daun pun kini tak lagi berwarna hijau, dia mulai menguning dan bobotnya semakin ringan. Angin semakin mudah membawanya.
Suatu hari dalam perhentiannya di sebuah halaman, dia bertemu dengan daun lainnya yang juga berwarna serupa. Bedanya, daun ini tampak baik-baik saja, dia tidak murung seperti Daun. Hal ini cukup mengusik hati Daun, lalu dia mulai membuka percakapan. "hai, boleh aku tanya sesuatu?" daun lain itu kemudian tersenyum "silakan, apa yang bisa kubantu?" Daun bertanya apa yang membuat daun itu tak murung seperti dirinya. Mendengar pertanyaan ini, daun lain itu menjawab dengan tenang "kenapa harus murung? kita akan menjadi pohon sebentar lagi, bukankah itu hebat?" Daun semakin dibuat heran. Lalu daun lain itu melanjutkan perkataannya "setelah ini kita akan menjadi satu dengan tanah, lalu dengan hanya sebuah benih yang tertanam di dalamnya, kita akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Itulah peran kita sekarang, kita akan membantu benih itu besar. Kita tidak lagi menjadi sehelai daun yang dapat diterbangkan angin, namun kita akan menjadi besar dan menopang daun-daun kita sendiri. Itulah yang akan terjadi pada kita sebentar lagi. Jangan murung, bersabarlah sedikit, karena sesuatu yang indah menanti kita di sana”
Kata-kata daun lain ini seperti kabar gembira bagi Daun. Dia tidak pernah memikirkan sampai sejauh itu. Yang dipikirkannya selama ini hanyalah bahwa tidak ada lagi yang menginginkannya. Ternyata apa yang akan terjadi padanya adalah sesuatu yang lebih dari apa yang selama ini dia inginkan. Daun mulai meyakini, bahwa tak ada satupun di dunia ini yang tidak memiliki peran bagi semesta. Sekecil apapun peran itu, pasti akan menjadi sebuah kesatuan peran yang besar.
Daun masih tergeletak diam di tanah, namun kali ini perasaanya lebih riang. Lalu pelan-pelan, dia merasakan tubuhnya mulai menyatu dengan tanah.
Ditulis oleh : Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar